Metro, Jakarta - Pengelola Apartemen Kalibata City membenarkan satpam pernah membubarkan penghuni yang berkelompok di lingkungan apartemen. Namun tindakan itu dilakukan satpam karena sejumlah penghuni berteriak sehingga mengganggu penghuni yang lain. "Sekarang saya tanya, kalau ada orang teriak-teriak apakah dibiarkan saja?” kata Herjanto Widjaja Lowardi, kuasa hukum pengelola Apartemen Kalibata City, Senin, 21 Agustus 2017.

Menurut Herjanto, tindakan yang dilakukan pengelola itu tidak bisa disebut intimidasi. Sebab yang mereka lakukan justru untuk menjaga keamanan dan kenyamanan penghuni.

Penjelasan Herjanto itu sebagai tanggapan atas laporan sejumlah penghuni apartemen ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) atas dugaan melakukan intimidasi.  Wenwen, salah satu pelapor, mengatakan pengelola melarang penghuni berkumpul lebih dari sepuluh orang. "Padahal tidak ada di undang-undang aturan seperti itu. Mereka (pengelola) bikin aturan sendiri," katanya lewat tulis pernyataan tertulis.

Selain merasa terintimidasi, kata Wenwen, laporan ke Komnas HAM juga didasarkan atas dugaan mark-up atas tagihan listrik dan air. Ada 30 ribu penghuni yang dimintai tagihan empat kali dalam setahun dengan bentuk Iuran Pemeliharaan Lingkungan (IPL). Setiap penghuni diwajibkan membayar IPL dengan jumlah berbeda, yang jika ditotal dalam setahun bisa mencapai Rp 24 miliar. "Padahal keduanya (listrik dan air) merupakan hajat hidup yang merupakan hak asasi setiap warga negara," tulis Wenwen dalam rilisnya.

Atas dugaan mark-up tersebut, pada Juni 2017, sebanyak 13 penghuni Apartemen Kalibata City menggugat tiga pihak, yakni PT Pradani Sukses Abadi selaku pengembang, PT Prima Buana Internusa selaku pengelola, serta Badan Pengelola Kalibata City. Hingga kini, sidang perdata itu masih berjalan dan dalam tahap duplik (jawaban tergugat).

ZARA AMELIA